Menaggapi Problematika Kehidupan Ala Filsuf Stoa (Stoisisme)
Setiap manusia memiliki masalah pribadinya masing-masing, intensitas dari problematika yang dialami oleh antar individu tentunya berbeda-beda juga. misal problematika kehidupan saya dengan teman saya tentunya berbeda, karena pada dasarnya setiap masalah yang dialami berlandaskan dengan situasi dan keadaan yang berbeda antar individu. Mungkin permasalahannya sama namun progres atau alurnya yang berbeda sehingga akibatnya pun berbeda.
“Tidak ada peristiwa yang benar-benar terjadi secara kebetulan. semua peristiwa itu ada karena peristiwa kecil yang terjadi sebelumnya (interconnectedness)” ~ Filosofi Teras
Begitu kira-kira pernyataan yang saya baca dari buku Filosofi Teras beberapa bulan lalu. pendapat tersebut sontak membuat saya berpikir terlebih dahulu sebelum mencernanya lebih dalam, yang kemudian saya simpulkan bahwa pada intinya mereka menjelaskan bahwa segala hal dalam hidup kita adalah tak lain sebagai akibat aksi-reaksi dari apa yang kita lakukan sebelum peristiwa itu terjadi.
Dalam pandangan pemahaman para filsuf stoa, Stoisisme menekankan bahwa segala peristiwa adalah sebuah konsekuensi dari rantai perjalanan panjang yang mungkin pada masa sebelumnya adalah keputusan-keputusan yang diambil oleh para pelaku kehidupan itu sendiri. Piye ceritane kuwi ??
Gini-gini contoh sederhananya adalah mengapa kita ada di dunia ?. Kita lepaskan dulu norma dan dogma agama seperti “Takdir, kuadrat tuhan” disini, lalu mulailah berpikir secara sains dan logika. Kita ada di dunia adalah sebagai bentuk konsekuensi (akibat) dari sebuah keputusan yang dilakukan oleh kedua orang tua kita sebelumnya untuk mencintai satu sama lain kemudian memutuskan untuk menikah dan memiliki keturunan dan jadilah kita. sampai sini paham ??
semoga paham…
Nah lantas penyelesaian seperti apa yang ditawarkan para filsuf stoa untuk mengatasi segala bentuk problematika kehidupan ?. Mari kita runtutkan pembahasannya.
Pertama, problematika yang sering terjadi dan sering dialami oleh manusia adalah Stress, depresi, dll. Umumnya hal tersebut terjadi karena seseorang terlalu overthingking terhadap hidupnya sendiri entah penyebabnya karena terlalu banyak ngerungokne cocot e tonggo, terlalu memasukkan hati cemooh orang lain, atau mungkin kena mental karena sering membandingkan kehidupan sendiri dengan kehidupan orang lain di Tiktod, Instagram, dll anjirr bangkee memang aplikasi-aplikasi itu, astaghfirullah…
Maka dari itu didalam buku filosofi teras menjelaskan untuk bagaimana lebih bisa memenejemen rasa cemas dan khawatir kita terhadap hal-hal yang belum tentu jelas kebenarannya, juga mulailah berhenti berpresepsi bahwa kehidupan orang lain jauh lebih enak dibandingkan dengan apa yang kita miliki saat ini. Konsep sederhananya adalah seperti membandingkan diri kita yang hidup sederhana dengan orang yang hidupnya kaya raya dan serba berkecukupan.
Disini perlu ada tendensi bahwa seperti yang dikatakan oleh stoisisme sebelumnya bahwa semua adalah bagian dari proses. Juga perlu diketahui apa yang ada dipikiran kita belum sepenuhnya benar sesuai dengan ekspektasi kita tentang ke hidupan si kaya tadi. Bisa saja si kaya justru merasa tersiksa dengan kekasyaannya tersebut dan justru tidak menemukan kebahagian dari kekayaannya seperti kebahagian yang dialami kita yang hidup sederhana. yaah seperti itu.
Kedua, Berhati-hatilah dengan sikap membiasakan untuk Positive Thingking, mengapa demikian ??. Karena menerapkan perspesi ini akan memiliki potensi yang jauh lebih buruk dari pada kita berpikir biasa saja terhadap segala sesuatu yang menjadi masalah kita. Secara psikologi sikap Positive Thingking ini akan menipu pikiran kita seolah-olah kita telah mencapai/ bisa melakukan apa yang sebenarnya tidak mampu kita capai dan itu jauh lebih buruk dari sekedar berpikir untuk berpikir biasa saja.
Contoh sederhananya adalah ketika terlalu berpositive thingking bahwa kita dapat melakukan pekerjaan yang berat itu sendirian, namun ternyata pada suatu ketika kita tak mampu memenuhi ekspektasi tersebut yang berakibat gagal dan menyesal sehingga berujung pada hal berupa depresi karena tak mendapatkan kebahagian sebagaimana yang kita pikirkan sebelumnya.
Kesimpulannya adalah, kita harus lebih berhati-hati dengan Positive Thingking karena tak semua hal dapat dipikirkan secara positive, ada hal-hal yang mana justru kita perlu untuk memiliki pandangan Negative seperti misal dalam memilah milih circle pertemanan, menaggapi situasi perpolitikan, atau juga dalam hal berdagang. mengapa perlu hal tersebut ??, karena untuk menghindarkan diri kita dari realita yang buruk yang akan membuat kita bukannya bahagia malah sengsara.
Ketiga, dalam memandang problematika kehidupan perlu diketahui bahwa ada batasan-batasan yang harus difahami untuk menghindari sikap overthingking yaitu pahami bahwa ada hal yang itu tidak berada dibawah kendali kita seperti misalnya “Omongane tonggo sing luwih pedes timbang sambel geprek”, biyuuuh…
“Something are up to us, something are not up to us” (Ada hal-hal dibawah kendali kita, ada hal-hal yang tidak dibawah kendali kita) begitu kiranya yang dikatakan oleh Epictetus. Prinsip tersebut sering dikenal dengan dikotomi kendali (dichotomy of control), hal tersebut juga disepakati oleh hampir seluruh filsuf stoa.
Permisalan tentang apa saja yang tidak dibawah kendali kita adalah seperti halnya tindakan orang lain terhadap kita, opini orang lain, popularitas kita, segala sesuatu yang berada diluar pikiran kita seperti bencana, dan lainnya. Kemudian tentang apa saja yang ada dibawah kendali kita yaitu seperti: pertimbangan (judgement), opini kita, keinginan, tujuan kita, dan segala hal yang berasal dari pikiran dan tindakan kita sendiri.
Mengapa harus ada pembedaan seperti itu ?. jawabannya adalah agar kita tidak terpuruk jatuh pada depresi, overthingking dan kekecewaan atas obsesi yang pada dasarnya itu bukan dibawah kendali kita. contoh: kita ngga bisa mengendalikan opini dan persepsi orang lain terhadap diri kita seperti apa, karena hal tersebut berlandas pada nalar orang itu sendiri dan kita tidak bisa mengintervensi orang lain untuk menyuruh orang lain berpikir tentang kita yang baik-baik saja.
Jadi perlu kita ketahui tentang hal tersebut, dan ketika kita sudah tau tentang pembedaan tersebut maka kita lebih bisa mensikapi hal tersebut dengan lebih bijaksana misalnya adalah tampil aman untuk tidak terlalu memikirkan hal yang diluar kendali kita dan lebih bersikap bodoamat terhadap hal tersebut.
Nah so…., mungkin itu dulu deh yang bisa ku tulis, tentang trobosan apa saja yang ditawarkan oleh para pemikir stoisisme untuk mengatasi problematika kehidupan, semoga dapat menambah wawasan kita semua dan lebih bermanfaat lagi kedepannya. Ini sedikit sinopsis dulu lah lain waktu bisa dilanjut lagi kalo penulis lagi longgar hehehe.
sekian matur thank you…